Tuesday, September 2, 2008

Centong Retak

“Centong ini harganya sepuluh ribu.” Matanya melihat saja. Mulutnya diam, tak hendak bicara. Kemudian kembali menekuni memilah-milah peralatan untuk memperbaiki rantai roda belakang. Centongnya masih aman dalam plastik. Jadi enggan membukanya. Alih-alih buat makanan, centong ini biar mengisi lemari.

Pasar sedemikian dekatnya. Jadi pas centong sebelumnya patah, langsung bisa berlari sekitar seratus lima puluh meter untuk beli baru. Ada kuning, jingga, putih, putih gading, hitam, dan abu-abu. Tidak ada pink. Abu-abu boleh juga. Biar tidak lekas kotor seperti putih. Biar tak selegam hitam. Biar tampak manis di rak.

Bagaimana kalau masih di rumah itu. Masak harus menunggu Ethek. Ya kalau penjualnya bisa bangun pagi, ya kalau rebung ada. Atau kacang panjang, atau brokoli, atau mentega atau sedikit buah-buahan. Kalau centong di rumah itu pecah. Rasanya mau sembunyi saja.

Petikan gitar mengalir bersama angin. Masuk ke telinga. Mengisi relung-relung hati merah basah. Warna itu sembunyi dibalik layar hitam putih. Cerita ini menulis sendirinya. Seperti wajahnya. Tersenyum simpul. Begitu saja. Wajah itu terbentuk. Terpahat. Hidung, mata dan senyuman.

Sial. Angin ini tak segera pergi. Lamat-lamat. Untunglah suara riang terdengar juga. Jauh. Mendekat. Jauh lagi dan pergi. Tidak ada yang mendengar. Hatiku pun tuli. Lama sembunyi di balik kelambu. Jauh terbungkus. Hatiku semakin menjauhi keriangan.

Angin ini membungkus sebuah rumah. Membelai tetangga sebelah. Sebelahnya lagi. Kemudian beberapa jalan raya, rumah itu berada. Tak sebegitu jauh seperti inginku. Sebuah rumah. Dengan pintu dan kusen jendela dari kayu. Atap genting. Sewaktu-waktu bisa jatuh sedemikian tuanya. Tapi tetap berdiri. Tetap seakan hampir jatuh.

Seorang berambut putih selalu mengamati. Siap menadahkan tangannya untuk menangkap kalau-kalau gentingnya jatuh. Tangan renta itu membekas di lenganku. Menyatukan dengan seorang penipu. Orang asing.

Menenun dan memasak menyenangkan. Membuat suamiku nyaman dengan perutnya. Sewaktu petang tiba, dia biasa melihatku menenun. Mengagumi kecantikan. Gemulainya tanganku sewaktu menenun. Betapa indah leherku sewaktu merunduk. Kemudian kutemani tiap suapan. Centong abu-abu tetap berplastik. Kuambilkan nasi dengan centong lama yang telah retak.
Dia tetap suamiku. Dengannya kumengikat janji. Demi dia rela kutinggalkan Surabaya. Untuk menyusuri teluk Tomini. Kemudian Gorontalo. Tidur dalam dinginnya hutan-hutan. Indahnya berpelukan dalam lapar. Sampai kembali lagi ke Jawa. Sekarang ruhku lapar.

Mulutnya mengecap. Lagi-lagi terpahat senyuman. Mulai laki-laki ini bercerita. Tentang mendaki bukit. Kemarin bukitnya hijau. Kemarinnya lagi ada batu-batu terjal. Sehari sebelumnya. Dua hari. Tiga hari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Bertahun-tahun.

“Telah kukatakan berkali-kali, padahal bukitnya tetap sama. Mengapa tidak beralih melakukan pekerjaan lain?”

Kau melihatku. Seperti bertahun-tahun lalu. Setelah awal satu tahun berlalu di Tomini. “Seperti itu juga, telah kunyatakan. Ini selalu berbeda. Apa yang kau bicarakan?” Tanyamu.
“Setelah mendaki bukit. Dan berhasil. Apa yang dapat kau temukan selain bukit lagi untuk didaki?” Aku tetap bersikukuh.

“Ini nafasku. Darahku. Jantungku. Cintaku. Hidupku.” Suamiku bercerita lagi. Tentang awan berarak. Angin yang berhembus. Aku mulai melihatnya jelas. Pusaran angin mengelilinginya. Jiwaku terhempas.

Kebebasan telah menahan suamiku. Tahanan bernama perempuan telah memberiku kebebasan. Karena ini saat yang tepat. Kutinggalkan centong retak. Aku pergi. Menjemput impian. Aku wanita bebas. (ips)

21 April 2008
Untuk perempuan yang terpenjara, Saatnya untuk bebas

No comments: