Sunday, September 21, 2008

Have a Breath

Can i have a little excuse
a place to hide for a second
and a backet to throw those rubbish

i want freedom for full expression

Saturday, September 20, 2008

Reply fo Tennesee William on clothes from a summer hostel

from only this hospital she wait, for a moment
her Scott aproaching her after years
her life was not empty though
her life was so full of desire

there the two will meet
in a very great position on art
master in creation of mind

no one could answer, which one better
waiting Scott with this magnificent work art while dying?
or making some fun like traveling?

Wednesday, September 17, 2008

Keadilan


Perang Mahabarata tengah berlangsung. Arjuna tiba-tiba mogok, mundur dari medan laga. Ksatria tampan ini memilih jadi pengemis daripada membunuh Bistama, sang kakek, dan Durna, sang Guru serta saudara-saudaranya hanya untuk tanah.

Krishna, sepupu sekaligus sais kereta perangnya saat itu, kaget. “Are you Nuts? Gendeng!” Sudah mau perang, di tengah arena,.. baru berfikir tentang persaudaraan.


Krishna bertutur. Tentang keadilan untuk sesama Cassanova India ini. Malcom X pun menuturkan hal yang sama. He said kurang lebih seperti ini, “Nobody can give you equality or justice or anything. If you are a man, you take it!” Raga hanya pinjaman dengan dosa. Bila seorang terbunuh, menurut kepercayaan Hindu, jiwanya tetap ada dan mengambil raga lain.

Tugas Brahmana untuk belajar dan mengajar. Tugas Ksatria untuk mengatur dan perang. Tugas Waisya untuk berdagang. Yang kasian, tugas Sudra,…jadi pegawai tetap, hiks!

Ksatria seperti para samurai Jepang. Lebih baik bagi mereka harakiri daripada menyerah kalah. Seorang Arjuna saat itu hanya mengingatkan pada peran Paris di perang Troya. Meski peran Paris lebih buruk, demi kegilaannya kepada Helena, dua sejoli ini memicu perbudakan bangsanya dan terbunuhnya saudaranya. Yang ngga adil, kok Paris ga mati ya!!!!!

Yup. Balik lagi ke Arjuna si bimbang. Krishna memberikan wejangan lagi. Manusia hidup dengan karma. Kewajiban untuk melakukan tugasnya. Bila seseorang mengingkari, dia ibarat sebuah batu yang hanya diam. Coba ingat pepatah Jawa. Wong sadermo nglakoni.

Adalagi, Wong urip mung bisane nrimo. Menerima. Jangan mengartikan sekenanya dengan hidup seperti babi, bermalas-malasan, dan berhenti berinovasi. Menerima, berarti juga berteriak saat haknya belum diterima. Berterimakasih setelah menerima.

Perang ini,… muncul dari kisah sedih, kecerobohan Yudhistira, dan ketamakan Duryudana. Yudhistira kalah taruhan dari Sengkuni atas nama Duryudana. Duryudana pun dapat semua tanah pandawa yang terletak di Kurusetra berikut keempat adiknya dan Drupadi jadi budak Duryudana. Kesepakatan mereka, empat pandawa dan istri (Drupadi) harus dipengasingan selama 12 tahun. Setelah itu Duryudana akan mengembalikan lagi tanah mereka. Kemudian Kurawa ini ingkar. Pandawa mengutus Krishna untuk bernegosiasi. Gagal. Krishna pun memprovokasi untuk perang.

Sambil Krishna memberi wejangan. Vedya mengabadikan penuturan Manusia terlengkap dengan enam belas sifat ini dalam buku yang sekarang terkenal dengan Gita, salah satu buku suci kaum Hindu.

Saturday, September 13, 2008

desire

sat in a heaven side of southern Delhi
Ebiet G. Ade's song came to mind
he sang 'semua hanya di rongga dada'
everything just lay deep inside heart

what's made me like this?
why i came faraway into this unknown?
why i ve became so thirsty?

i saw a friend passed away
just feel lossing an old one
i saw people died around
as live going in unexpected way

live and died
i just saw a narrow looks like a slice of paper separated between them

Thursday, September 11, 2008

ancient and change



The history is very long
(kkk...)
they said,

our anchestor had been traveled from many centuries by this way

the anchestor had their civilization

they made friendship and married

shall we return
so, why then in the past we had change the pattern?

For you my friend, which one you choose,
the change or the ancient?

Wait!
Event change is power
ancient itself also sustenance of strenght and longevity
both are power in their own sense

so, which one shall we chose?

Shall we choose ourselves?

(^_^) again, back to self

what is self?
Where is our God? Do they have say?
Our God is came from ancient
how to find it?

Or not.
Or what now?!


(Again, thankfull of the God that give me a way to think. It is another way to understand self and humanity)

Tuesday, September 2, 2008

Sun Tsu proposed five strategy in war:

Planning

Courage

Patience

Low Profile

Decisive

Centong Retak

“Centong ini harganya sepuluh ribu.” Matanya melihat saja. Mulutnya diam, tak hendak bicara. Kemudian kembali menekuni memilah-milah peralatan untuk memperbaiki rantai roda belakang. Centongnya masih aman dalam plastik. Jadi enggan membukanya. Alih-alih buat makanan, centong ini biar mengisi lemari.

Pasar sedemikian dekatnya. Jadi pas centong sebelumnya patah, langsung bisa berlari sekitar seratus lima puluh meter untuk beli baru. Ada kuning, jingga, putih, putih gading, hitam, dan abu-abu. Tidak ada pink. Abu-abu boleh juga. Biar tidak lekas kotor seperti putih. Biar tak selegam hitam. Biar tampak manis di rak.

Bagaimana kalau masih di rumah itu. Masak harus menunggu Ethek. Ya kalau penjualnya bisa bangun pagi, ya kalau rebung ada. Atau kacang panjang, atau brokoli, atau mentega atau sedikit buah-buahan. Kalau centong di rumah itu pecah. Rasanya mau sembunyi saja.

Petikan gitar mengalir bersama angin. Masuk ke telinga. Mengisi relung-relung hati merah basah. Warna itu sembunyi dibalik layar hitam putih. Cerita ini menulis sendirinya. Seperti wajahnya. Tersenyum simpul. Begitu saja. Wajah itu terbentuk. Terpahat. Hidung, mata dan senyuman.

Sial. Angin ini tak segera pergi. Lamat-lamat. Untunglah suara riang terdengar juga. Jauh. Mendekat. Jauh lagi dan pergi. Tidak ada yang mendengar. Hatiku pun tuli. Lama sembunyi di balik kelambu. Jauh terbungkus. Hatiku semakin menjauhi keriangan.

Angin ini membungkus sebuah rumah. Membelai tetangga sebelah. Sebelahnya lagi. Kemudian beberapa jalan raya, rumah itu berada. Tak sebegitu jauh seperti inginku. Sebuah rumah. Dengan pintu dan kusen jendela dari kayu. Atap genting. Sewaktu-waktu bisa jatuh sedemikian tuanya. Tapi tetap berdiri. Tetap seakan hampir jatuh.

Seorang berambut putih selalu mengamati. Siap menadahkan tangannya untuk menangkap kalau-kalau gentingnya jatuh. Tangan renta itu membekas di lenganku. Menyatukan dengan seorang penipu. Orang asing.

Menenun dan memasak menyenangkan. Membuat suamiku nyaman dengan perutnya. Sewaktu petang tiba, dia biasa melihatku menenun. Mengagumi kecantikan. Gemulainya tanganku sewaktu menenun. Betapa indah leherku sewaktu merunduk. Kemudian kutemani tiap suapan. Centong abu-abu tetap berplastik. Kuambilkan nasi dengan centong lama yang telah retak.
Dia tetap suamiku. Dengannya kumengikat janji. Demi dia rela kutinggalkan Surabaya. Untuk menyusuri teluk Tomini. Kemudian Gorontalo. Tidur dalam dinginnya hutan-hutan. Indahnya berpelukan dalam lapar. Sampai kembali lagi ke Jawa. Sekarang ruhku lapar.

Mulutnya mengecap. Lagi-lagi terpahat senyuman. Mulai laki-laki ini bercerita. Tentang mendaki bukit. Kemarin bukitnya hijau. Kemarinnya lagi ada batu-batu terjal. Sehari sebelumnya. Dua hari. Tiga hari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Bertahun-tahun.

“Telah kukatakan berkali-kali, padahal bukitnya tetap sama. Mengapa tidak beralih melakukan pekerjaan lain?”

Kau melihatku. Seperti bertahun-tahun lalu. Setelah awal satu tahun berlalu di Tomini. “Seperti itu juga, telah kunyatakan. Ini selalu berbeda. Apa yang kau bicarakan?” Tanyamu.
“Setelah mendaki bukit. Dan berhasil. Apa yang dapat kau temukan selain bukit lagi untuk didaki?” Aku tetap bersikukuh.

“Ini nafasku. Darahku. Jantungku. Cintaku. Hidupku.” Suamiku bercerita lagi. Tentang awan berarak. Angin yang berhembus. Aku mulai melihatnya jelas. Pusaran angin mengelilinginya. Jiwaku terhempas.

Kebebasan telah menahan suamiku. Tahanan bernama perempuan telah memberiku kebebasan. Karena ini saat yang tepat. Kutinggalkan centong retak. Aku pergi. Menjemput impian. Aku wanita bebas. (ips)

21 April 2008
Untuk perempuan yang terpenjara, Saatnya untuk bebas

dari ahuramasda

"When, Wise One, shall
along with truth,
bringing peace and pasturage
throughout the dominion?
Which men
shall stop the cruelty (caused) by the
violent deceitful persons?
To which man
shall come the understanding
stemming from good thinking?"

"Yes, those men shall be
the saviors of the lands, namely,
those who shall follow
their knowledge of Thy teaching
with actions
in harmony with good thinking
and with truth, Wise One.
These indeed have been fated to be the expellers of fury."

"...I shall serve all of you...with truth...
You, moreover, with
the skillfulness of good thinking."